Tuesday, October 11, 2011

.Satu Dua Tiga.



Semburat jingga melukis langit senja. Semilir angin memainkan rambutmu yang tergerai indah. Hmm.. dari jarak sedekat ini, aku dapat mencium wangi sampomu. Wangi bunga dan buah. Perpaduan yang lembut, segar, dan memabukkanku.

Pemandangan luar biasa indah terpapar di hadapan kita. Namun, tatapanmu hampa. Menerawang jauh menembus batas garis horizon.

Ini ritual kita.

Setiap senja tiba, kamu memintaku menemanimu duduk di tepi pantai ini, yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari resor-mu.

Aku ingin menikmati sunset. Begitu selalu katamu.

Dan seperti biasa, aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku tak pernah bisa menolak permintaanmu.

Here we are. Duduk berdua di atas pasir. Beralaskan sandal jepit yang kita pakai. Kamu tak pernah peduli jika strapless dress bunga-bunga favoritmu akan kotor bertabur pasir.

Kemudian, seperti biasa, aku mulai berhitung.

Satu, dua, tiga… Kamu akan mendesah resah. Lalu, berkeluh kesah.

Pandanganmu menerawang jauh sementara bibirmu meluapkan semua kata-kata. Tanganmu bergerak kesana-kemari sembari bercerita.

Kamu bilang, hidupmu merana. Tersiksa karena dia. Dia yang katamu bahkan tak pernah menyadari keberadaanmu.

Kamu bilang, hidupmu menderita. Semua laki-laki yang datang silih berganti takkan mampu menyamai dia. Tak ada yang istimewa. Seistimewa dirinya.

Satu, dua, tiga… Kamu akan menggigil kedinginan, dan aku akan melepas jaketku untuk menyampirkannya di bahumu. Selalu begitu.

Satu, dua, tiga… Kamu akan mengantuk. Kelelahan bercerita. Kemudian kamu akan bersandar di bahuku dan tertidur lelap di sana.

Satu, dua, tiga… Hup.

Aku akan membopongmu ke resormu, ke tempat tidurmu, mematikan lampu lalu berjinjit ke luar kamarmu, dan menutup pintu.

Memastikan semua aman sebelum akhirnya berlalu dari resor-mu dan pulang.

Kamu terlalu lelap untuk terbangun.

Biasanya, sambil menggendongmu, aku memandang wajah pulasmu, sambil memikirkan satu pertanyaan yang selalu kamu tanyakan padaku.

Tahukah kamu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tak pernah bisa mencintaimu?

Biasanya aku hanya menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban. Aku selalu membiarkan kamu terus bercerita tentang dirimu yang mendambakannya.

Tahu bagaimana rasanya?

Kamu tidak pernah tahu, bahwa aku tahu.

Ya. Aku sangat tahu bagaimana rasanya.

Karena aku, mencintaimu. Sejak dulu. Sejak kita masih belajar menghitung satu dua tiga dari ibu guru.

Aku mencintaimu.

Mencintai kamu yang selalu bersamaku, namun bahkan tak pernah menoleh ke arahku.

Kearahku, lelaki yang selalu dan akan selalu mencintaimu. Lelaki yang cintanya tak hanya sampai hitungan ketiga.

Kamu tahu?

Cintaku. Tak terhingga.



ditulis oleh @hildabika

Sebuah Flash Fiction dalam rangka #11projects11days Nulisbuku.com

Monday, August 29, 2011

.Life Goes On.


Shit happens. But life goes on. :)

Tuesday, May 10, 2011

I'm Not Moving


Going back to the corner

where I first saw you

Gonna camp in my sleeping bag

I'm not gonna move


"Pernah nggak kamu cinta sebegitu dalam sama seseorang?"

Mendengar pertanyaanku itu, Keira, sahabatku, mendongak dari majalah yang sedang dibacanya.

"Sebegitu dalam? Maksudmu... cinta mati?"

"Yah... semacam itulah. Jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Jatuh berkali-kali pada orang yang sama. Sampai kamu yakin bahwa nggak bakal ada orang lain yang bisa kamu cintai seperti kamu mencintainya,” jelasku, sambil menyesap hot green tea yang kusadari mulai dingin.


Keira menatapku dengan tatapan yang sudah sangat kukenal. Sepertinya dia menyadari kemana arah pembicaraanku.

“Kayak kamu mencintai Ian, maksudmu?”

Aku diam saja.

Keira menghela napas dalam-dalam. Aku tahu, dia pasti bosan setengah mati mendengar curhatanku tentang ini.

Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa bosan setengah mati mencintai Ian.

Wake up, Sher. Kamu mau nungguin dia sampai kapan? Kamu nggak bisa begini terus. Bahkan sampai tempat makan pun kamu selalu milih kafe ini. Duduk di spot ini. Ini gila namanya,” Keira geleng-geleng kepala.

Kualihkan pandangan ke arah jendela di sampingku.

Ya. Di pojokan cafe inilah kali pertama aku bertemu dengan Ian. Pertemuan pertama yang begitu biasa saja, namun menghasilkan perasaan luar biasa di kemudian hari.

Senyumnya, tawanya, caranya menyanyi, caranya menghibur, semuanya terpatri jelas dalam ingatanku.

And yes, i’m crazy on him.


I know it makes no sense

but what else can I do?

How can I move on

when I'm still in love with you?


Move on, Sher.”

Ah, kata-kata itu lagi. Entah berapa kali aku mendengarnya. Bukan hanya dari mulut Keira seperti barusan, namun juga dari mulut orang-orang yang mengenalku.

Ian Kusumawidjaja adalah seorang flight attendant. Jadi, dia terbang kesana kemari. Tempat tinggal aslinya bahkan nun jauh di sana.

“Sampai detik ini, aku masih nggak paham. Kok bisa sih kamu mencintainya begitu dalam? Toh kalian hanya bertemu dan dekat dalam waktu sebulan. Setelah itu, dia menghilang nggak ada kabar.”

Kusandarkan punggungku ke sofa yang empuk. Tiba-tiba merasakan lelah karena menahan rindu yang luar biasa. Ian memang tidak pernah ada kabar sejak kepergiannya. Kuhubungi beberapa kali, tetap sama. Tak ada jawaban. Seperti lenyap di telan bumi.

“Aku sendiri nggak tahu alasanku jatuh cinta sebegitu dalam padanya, Kei. I just fall. Lagian, bukankah kita tidak memerlukan alasan untuk mencintai seseorang?”

Keira mengernyit, potongan french fries menggantung di tangannya.

“Nggak perlu? Bukannya kita mencintai seseorang karena... ehm.. dia ganteng, pinter, baik, or whatever lah itu?”

Aku menggeleng mantap. “Nggak. Nggak perlu alasan untuk bisa mencintai. Sebab, ketika alasan itu hilang/pergi, cintaku nggak bakal ikut hilang/pergi bersama alasan itu.”

Keira terdiam, merenung.

“Hmm.. iya sih. Tapi... Halooo? Dia pramugara, Sherine sayang. Dia bisa aja enak-enakan punya cewek cantik di luar sana. Sementara kamu duduk diam menunggunya di sini. Apa itu nggak useless namanya?”

Well, that’s my consequences, Kei. Aku tahu resikonya. Dan ini pilihanku. Aku memilih untuk tidak membuka hati dan menunggunya. I know it’s sounds crazy. But, i willing to take the chance.”

Keira menghela napas, menyeruput iced frappucino sambil geleng-geleng tak habis pikir.

So... you’ll be right here waiting? Sampai tua? Keukeuh nggak mau move on melupakannya? Walaupun ada banyak cowok yang lebih ganteng dan hebat di luar sana yang mengantri mendapatkanmu?”

Aku tersenyum. Ah, Keira pasti sudah tahu jawabanku. Itu pertanyaan retoris.

I’m not moving, Kei. Not yesterday, not now, and never ever. Entah bagaimana... aku punya keyakinan kuat di hatiku, bahwa suatu saat dia akan kembali padaku. Entah kapan, entah berapa lama, aku yakin dia akan kembali ke sini.”


***

Cause if one day you wake up

and find that you're missing me

and your heart starts to wonder

where on this earth I could be


Dua tahun berlalu sejak obrolanku dengan Keira waktu itu. Dan aku masih sama. Masih tetap pada pendirianku waktu itu.

Aku sedang duduk sendirian di pojokan kafe, seperti biasa, ketika merasakan getaran itu.

Drrtt...

Ponselku bergetar. Dari nomor yang tidak kukenal.

“Halo... Sherine?”

Suara itu.

Ya Tuhan... Ian?

I must be dreaming...

Nggak mungkin.

“Halo? Sher? Ini Ian. Masih inget nggak?”

Apa aku salah dengar? Tapi itu benar Ian.

Dalam sekejap aku mengalami degradasi intelejensi. Blank. Lidah kelu. Otak macet.

“Halo? Halo? Ini bener nomornya Sherine kan?”

“E..eh.. iya, Ian? a..pa?”

Terdengar gelak tawanya. Tawa khasnya yang selalu kurindukan.

“Kok diem aja sih? Kirain salah nomor. Kirain kamu udah lupa sama aku.”

“...”

“Oh iya, aku lagi di kotamu lho.”

“...”

“Halo? Tuh kan, malah bengong lagi. Jangan kebanyakan bengong neng, apalagi di pojokan. Sendirian pula. Ntar kesambet lho.”

Hah? Spontan aku menyapukan pandangan ke seluruh penjuru kafe, mencari-cari sosoknya. Kok dia bisa tau aku sendirian di pojokan?

“Kok.. k.. kamu tahu aku sendirian di pojokan? Kamu di mana?” mataku masih mencari-cari dengan liar ketika akhirnya aku menemukannya.


Thinkin maybe you'll come back

here to the place that we'd meet

And you'll see me waiting for you

on the corner of the street


Rambut jabriknya. Mata elangnya. Lesung pipitnya. Bahkan kemeja polosnya. Sama. Cara berjalannya pun masih sama. Itu dia.

Entah bagaimana, tahu-tahu saja dia sudah sampai di hadapanku.

Hmmm.. Bau parfum yang sama.

Dia tersenyum. Senyum yang sangat kuingat.

“Hai, Sher. How are you?”

Ponselku rasanya hampir terjatuh dari tanganku. Ragaku lemas. Aku terduduk di sofa.

“K.. kamu.. kenapa.. bisa ada di kafe ini?”

“Hmm.. aku cuma ngikutin firasatku aja sih. Firasatku mengatakan, kamu ada di sini. So, here i am. Ah, kangen banget aku sama kamu, Sher...”


So I'm not moving, I'm not moving...


***


*Inspired by The Man Who Can’t Be Moved – The Script


oleh Hilda Nurina

@hildabika

Dimuat dalam Kumpulan Cerpen #MusicProject yang diterbitkan Nulisbuku

Recent Comments

Introduction

Labels

Followers

Followers

Labels

Blogroll