Saya tidak
pernah tahu benar apa itu definisi candu.
Mungkin
candu adalah kegilaan saya pada warna beige. Warna kalem yang membuat hati saya
menjadi teduh. Yang membuat saya ketagihan melukis apartemen dengan nuansa warna yang menenangkan itu. Yang membuat saya terus menambah satu demi satu koleksi benda berwarna beige untuk
memenuhi seluruh ruangan.
Atau
mungkin juga, candu itu kegemaran saya akan roti tawar bersemir srikaya. Saya menggilai rasa nikmat dan rasa manis dari lapisan tebal srikaya
yang saya kunyah. Membuat saya tak pernah berhenti menikmatinya setiap pagi.
Lagi dan lagi.
Saya tidak
pernah tahu benar apa itu definisi candu.
Mungkin
candu itu film Serendipity. Film yang
menurut pendapat semua orang seharusnya bukan jenis yang akan saya tonton. Menurut mereka, saya lelaki yang sangat lelaki. Tidak mungkin bersanding dengan film sejenis itu. Namun, mungkin film itu candu.
Film yang membuat saya ketagihan untuk memutarnya lagi dan lagi. Film romantis
yang justru menduduki peringkat teratas dari barisan film action dan
thriller kegemaran saya. Yang berulang-ulang saya saksikan tanpa pernah merasa bosan.
Atau bisa
jadi candu itu adalah sebatang rokok yang diam-diam saya curi sesap saat pergi berkencan denganmu. Kamu melarangnya. Terlarang. Membuat saya merasa berdosa ketika melanggarnya. Dosa yang telah terlanjur menjadi candu.
Mungkin
juga candu adalah kebiasaan tanpa sadar yang saya lakukan setiap ke toko buku. Yang entah bagaimana punya daya pikat khusus yang membuat saya terus mendatanginya. Lagi dan
lagi.
Saya tidak
pernah tahu benar apa itu definisi candu.
Tapi satu
yang saya tahu benar.
Bagi saya,
Candu itu
...
Kamu, yang selalu
ada untuk menemani saya untuk memilihkan perabot berwarna beige. Yang selalu
menghiasi dan menemani hari-hari saya di seluruh sudut apartemen saya.
Kamu, warna
kalem sesungguhnya yang membuat hati saya menjadi teduh.
Bagi saya
candu itu ...
Kamu, yang
selalu tertawa renyah ketika melihat saya mengunyah roti lapis srikaya. Kamu,
yang bahkan lebih manis dari lapisan tebal
srikaya yang saya kunyah. Membuat saya selalu ketagihan menikmati tawamu setiap
hari. Lagi dan lagi.
Bagi saya
candu itu ...
Kamu, yang
serupa film Serendipity yang saya gilai. Romantis. Manis. Wanita yang justru menduduki
peringkat teratas di hati saya, melebihi sosok yang seharusnya mendampingi saya.
Memandang sosokmu, berulang-ulang, tidak pernah membuat saya merasa bosan.
Bagi saya
candu itu ...
Kamu, dosa
yang diam-diam saya curi sesap. Ini
terlarang. Membuat saya merasa sangat berdosa ketika melihatmu dan kemudian harus melihatnya.
Dosa yang terlanjur menjadi candu. Yang
punya daya pikat khusus yang membuat saya terus kembali padamu. Lagi dan lagi.
Saya tahu
saya berdosa. Ketika melihatmu menangis pasrah setiap saya akan pulang ke
tempat yang seharusnya. Saya tahu saya berdosa. Saya tidak bisa
meninggalkannya. Tapi juga tidak bisa tidak kembali padamu.
Candu itu,
kamu.
Dosa yang
sudah empat tahun ini membuat saya kembali. Lagi dan lagi.
Candu itu,
kamu.
Biar saya
dilaknat di Neraka.
Karena saya ...
Tidak
akan pernah berhenti kembali padamu.
***
*ditulis dalam rangka membalas postingan milik mbak Lala Purwono di sini.