Monday, July 1, 2013

Candu itu, Kamu.






Saya tidak pernah tahu benar apa itu definisi candu.

Mungkin candu adalah kegilaan saya pada warna beige. Warna kalem yang membuat hati saya menjadi teduh. Yang membuat saya ketagihan melukis apartemen dengan nuansa warna yang menenangkan itu. Yang membuat saya terus menambah satu demi satu koleksi benda berwarna beige untuk memenuhi seluruh ruangan.

Atau mungkin juga, candu itu kegemaran saya akan roti tawar bersemir srikaya. Saya menggilai rasa nikmat dan rasa manis dari lapisan tebal srikaya yang saya kunyah. Membuat saya tak pernah berhenti menikmatinya setiap pagi. 
Lagi dan lagi.


Saya tidak pernah tahu benar apa itu definisi candu.

Mungkin candu itu film Serendipity.  Film yang menurut pendapat semua orang seharusnya bukan jenis yang akan saya tonton. Menurut mereka, saya lelaki yang sangat lelaki. Tidak mungkin bersanding dengan film sejenis itu. Namun, mungkin film itu candu.

Film yang membuat saya ketagihan untuk memutarnya lagi dan lagi. Film romantis yang justru menduduki peringkat teratas dari barisan film action dan thriller kegemaran saya. Yang berulang-ulang saya saksikan tanpa pernah merasa bosan.


Atau bisa jadi candu itu adalah sebatang rokok yang diam-diam saya curi sesap saat pergi berkencan denganmu.  Kamu melarangnya. Terlarang. Membuat saya merasa berdosa ketika melanggarnya. Dosa yang telah terlanjur menjadi candu.


Mungkin juga candu adalah kebiasaan tanpa sadar yang saya lakukan setiap ke toko buku. Yang entah bagaimana punya daya pikat khusus yang membuat saya terus mendatanginya. Lagi dan lagi.



Saya tidak pernah tahu benar apa itu definisi candu.

Tapi satu yang saya tahu benar.
Bagi saya,
Candu itu ...


Kamu, yang selalu ada untuk menemani saya untuk memilihkan perabot berwarna beige. Yang selalu menghiasi dan menemani hari-hari saya di seluruh sudut apartemen saya.
Kamu, warna kalem sesungguhnya yang membuat hati saya menjadi teduh.


Bagi saya candu itu ...

Kamu, yang selalu tertawa renyah ketika melihat saya mengunyah roti lapis srikaya. Kamu, yang bahkan lebih manis  dari lapisan tebal srikaya yang saya kunyah. Membuat saya selalu ketagihan menikmati tawamu setiap hari. Lagi dan lagi.


Bagi saya candu itu ...

Kamu, yang serupa film Serendipity yang saya gilai. Romantis. Manis. Wanita yang justru menduduki peringkat teratas di hati saya, melebihi sosok yang seharusnya mendampingi saya. Memandang sosokmu, berulang-ulang, tidak pernah membuat saya merasa bosan.


Bagi saya candu itu ...

Kamu, dosa yang diam-diam saya curi sesap.  Ini terlarang. Membuat saya merasa sangat berdosa ketika melihatmu dan kemudian harus melihatnya. Dosa yang terlanjur menjadi candu. Yang punya daya pikat khusus yang membuat saya terus kembali padamu. Lagi dan lagi.

Saya tahu saya berdosa. Ketika melihatmu menangis pasrah setiap saya akan pulang ke tempat yang seharusnya. Saya tahu saya berdosa. Saya tidak bisa meninggalkannya. Tapi juga tidak bisa tidak kembali padamu.



Candu itu, kamu.
Dosa yang sudah empat tahun ini membuat saya kembali. Lagi dan lagi.


Candu itu, kamu.

Biar saya dilaknat di Neraka.
Karena saya ...
Tidak akan pernah berhenti kembali padamu.



***




*ditulis dalam rangka membalas postingan milik mbak Lala Purwono di sini.


Recent Comments

Introduction

Labels

Followers

Followers

Labels

Blogroll